Rabu, 09 November 2011

Perpustakaan VS Warung Internet?

Ini setelah mengikuti PJM, sebuah OPINI saya buat....


Buku adalah jendela dunia, begitu pepatah yang sering kita dengar. Sehingga semenjak sekolah dasar para pelajar suka berbondong-bondong ke perpustakaan dengan berbagai tujuan baik untuk meminjam buku atau sekedar membaca saja .
Perpustakaan menjadi tempat terpercaya sebagai rujukan mencari bahan informasi yang biasanya sulit ditemukan. Namun seiring waktu berjalan, perkembangan teknologi yang semakin canggih terutama di bidang internet membuat transfer informasi di dunia global semakin mudah dari sumber manapun. Sumber di internet yang dikenal sebagai sumber online semakin populer dikalangan pelajar dari Sekolahh Dasar hingga Perguruan Tinggi.Hal ini dikarenakan sumber online mampu memberikan
secara langsung suatu informasi yang diinginkan oleh pengakses internet. Sehingga internet kini tidak hanya menjelma sebagai jendela dunia namun sudah menjadi gerbang bagi manusia untuk menjelajahi dunia. Hal ini dapat dilihat dari pengguna internet di Indonesia yang semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun sudah menunjukkan pergeseran arah mencari informasi masyarakat dari manual ke digital.
Berdasarkan data www.internetworldstats.com pengguna internet di Indonesia mencapai 30 juta jiwa, atau 12,3 % dari populasi di Indonesia di tahun 2010. Dibandingkan dengan tahun 2000 pengguna internet di Indonesia yang hanya mencapai 2 juta jiwa atau 1% dari jumlah penduduk Indonesia waktu itu. Bisa kita lihat bahwa perkembangan pengguna internet di Indonesia naik 15 kali lipat dalam tempo 10 tahun. Ledakan sumber informasilah yang mengakibatkan orang cenderung mencari informasi di internet melalui jasa warung internet daripada di perpustakaan.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah keberadaan internet dapat menjadi pintu kehancuran dunia perpustakaan? Pertanyaan lama yang kini dijawab dengan semakin jarangnya orang yang berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan baik di areal sekolah atau kampus dan umum dibandingkan dengan warung internet (warnet) yang semakin menjamur karena didukung oleh pengunjung banyak dan pengunjung pun merasa informasi yang didapat di internet dengan pergi ke warnet lebih cepat dan murah.
Perpustakaan sebagai sarana pencarian, penyimpanan, dan sarana temu balik informasi pada hakikatnya tidak akan mati selama ia dikelola dengan profesional. Tidak berbeda jauh dengan internet, bahkan menyerupai, perpustakaan dan internet mempunyai fungsi yang sama berkenaan dengan informasi. Internet adalah perpustakaan maya. Internet dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar alternatif bagi kalangan akademisi setelah perpustakaan konvensional di lembaga pendidikan tinggi.
Namun, perpustakaan di kalangan perguruan tinggi mulai sedikit terlupakan. Kecendrungan para mahasiswa hanya akan pergi ke perpustakaan jika ada buku yang yang dicari oleh mahasiswa terdapat di perpustakaan. Hingga akhirnya sekarang dikembangkan perpustakaan maya yang bias menarik kunjungan pelajar untuk mencari informasi sehingga tidak cenderung di warnet saja. Namun perpustakaan maya yang dikembangkan diberbagai universitas di Indonesia pun  terkesan untuk “go internasional“, menjadi universitas riset dan world class university. Perlombaan itu tentu saja mengharuskan sebuah universitas untuk memfasilitasi diri dengan perpustakaan maya yang bisa diakses dari seluruh dunia. Maka, dilihat dari segi teknologi serta dari tantangan dan tuntutan masa depan, perpustakaan maya tampak tak terelakkan.
Menurut salah satu buku karangan Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton (2010) dalam buku mereka Para Penjaga Ilmu dari Alexandria. Mengorganisasi dan mengelola sebuah perpustakaan pada akhirnya adalah sebuah tugas besar yang menjemukan, yang memerlukan komitmen serius untuk menjustifikasi faedahnya. Butuh orang-orang yang akan memanfaatkannya. Tapi, sayangnya, yang terjadi di berbagai perpustakaan universitas dan berdasar riset kecil yang dia lakukan, tak banyak mahasiswa atau dosen yang menggunakan perpustakaan maya bahkan sekadar tahu ada perpustakaan maya. Kebanyakan mereka malah asyik dengan Facebook dan download film serta musik. Ini sungguh sia-sia jika dana yang digelontorkan untuk mengembangkan perpustakaan maya hanya dipakai untuk facebook dan lainnya yang tidak menyangkut pelajaran.
Sama halnya dengan perpustakaan konvensional yang menurut Kadek Wiriyani seorang mahasiswi Program Studi Teknologi Informasi yang mengatakan bahwa pepustakaan konvensional dari segi servisnya tidak begitu maksimal dalam artian hanya lingkup lokal saja yang bisa menikmati fasilitas perpustakaan tersebut karena tidak bisa diakses ditempat lain sehingga tidak optimal pemanfaatannya. Hampir sama dengan tanggapan Adit seorang mahasiswa Jurusan Arsitek yang berkata “Keberadaan peprpustakaan konvensional  dizaman sekarang sudah dipandang sebelah mata, ini karena adanya internet. Orang jadi jarang untuk pergi ke perpustakaan. Dan koleksi informasi di perpustakaan konvensional pun belum tentu selengkap di website atau perpustakaan maya.”
Dari tanggapan mereka kita bisa lihat bahwa keeksisan perpustakaan konvensional mengalami kemunduran. Tergeser oleh warung internet dan pengembangan perpustakaan maya. Namun disini kita menyoroti bahwa baik perpustakaan konvensional maupun maya tidak optimal dalam fungsinya. Jika di perpustakaan konvensional pelayanan belum maksimal dan pengunjung perpustakaan semakin menurun jumlahnya sama halnya juga yang terjadi pada nasib perpustakaan maya yang banyak pengunjung namun cenderung digunakan untuk facebook, download film, musik dan bahkan main game.
Ironis bukan, seharusnya perpustakaan adalah tempat untuk mencari ilmu dan menambah wawasan namun dimanfaatkan untuk hal yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan pelajaran. Bahkan sering kita dengar ada beberapa oknum yang sengaja menggunakan perpustakaan sebagai ajang tempat berpacaran. Menurut Kadek Wiriyani yang akrab dipangil UJ mengatakan sebenarnya perpustakaan sangat bermanfaat apalagi perpustakaan maya yang dapat diakses diberbagai tempat. Sedang menurut Adit dia hanya akan pergi ke warnet jika di perpustakaan tidak ada. Beda halnya dengan beberapa tanggapan beberapa mahasiswa yang mengungkapkan bahwa mereka bahkan tidak tahu mengenai letak perpustakaan di kampusnya. Sungguh dilema pendidikan di Negeri Zamrud Katulistiwa ini. Lokasi perpustakaan saja tidak diketahui bagaimana bisa mengharapkan mereka untuk berkunjung ke perpustakaan. Ini pastinya karena sebagian dari mahasiswa cenderung terfokus mencari informasi di internet baik di laptop mereka sendiri ataupun pergi ke warnet. Jika dilihat banyak pelajar lebih suka mencari materi pembelajaran dengan pergi ke warnet sehingga bisnis usaha warnet pun semakin menjamur terutama disekitar instansi pendidikan.
Sesungguhnya perpustakaan konvensional, maya maupun warnet tersebut adalah saling melengkapi, namun terkadang pelajar lebih cenderung pergi ke warnet mencari informasi sehingga perpustakaan menjadi terabaikan. Lalu siapa disini yang bertanggung jawab atas kemunduran keberadaan dari perpustakaan? Pelajar, masyarakat, instansi pemerintah, instansi pendidikan, orang tua, warnet atau siapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar